Jumat, 20 Maret 2009

MASUKNYA ISLAM KE BANTEN


Islam adalah agama yang mula-mula tumbuh di jazirah Arab, tepatnya di kota Mekkah. Disampaikan oleh seorang rasul yang bernama Muhammad yang lahir pada tahun 570 M. Pokok ajaran agama Islam adalah Tauhid, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang ada di dunia ini; oleh karenanya manusia hendaknya hanya tunduk kepada Yang Menciptakannya saja, tidak kepada yang lain. Sang Pencipta ini bernama Allah, yakni Tuhan yang Maha Satu, Pencipta seluruh alam semesta, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Hanya kepada-Nya sajalah manusia menyembah dan mengabdikan diri, serta menuruti segala perintah dan larangan-Nya; dan hanya dengan jalan itulah kehidupan manusia akan damai dan bahagia. Sebagai petunjuk dan bimbingan hidup manusia di dunia ini, Allah menurunkan al-Qur'an -- yakni kitab yang berisi segala perintah, larangan dan petunjuk bagi kehidupan manusia -- kepada rasul (nabi, utusan)-Nya, yaitu Muhammad bin Abdullah. Islam, mengajarkan bahwa manusia berasal dari satu keturunan, sehingga semuanya mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, semuanya harus saling tolong-menolong untuk bersama-sama mendapat keridaan Allah.

Semula, agama ini hanya dipeluk oleh sekelompok kecil saja bahkan karena tekanan-tekanan dari pembesar negeri, Muhammad dan pengikutnya dua kali pindah atau hijrah; yaitu pada tahun 615 M hijrah ke Abesinia dipimpin oleh Ja'far ibn Abi Thalib, dan sekitar tahun 622 M hijrah ke Yatsrib (Madinah sekarang). Tapi tidak lama kemudian yakni pada tahun 630 M, kota Mekkah dapat dikuasainya bahkan seluruh jazirah Arab bernaung di bawah bendera Islam. Muhammad wafat pada tahun 632 M.; kemudian digantikan -- sebagai khalifah (pemimpin negara) -- oleh Abubakar Siddiq, selanjutnya Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.

Pada masa kekhalifahan Abubakar dan Umar, terjadilah perluasan daerah kekuasaan negara Islam. Damsyik dikuasai pada tahun 629, Syam dan Irak pada tahun 637, Mesir terus sampai ke Maroko pada tahun 645. Demikian juga Parsi (646), Samarkand (680), dan seluruh Andalusia (719). Sehingga pada tahun 732, kekuasaan negara Islam telah membentang dari teluk Biskaya di sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India di sebelah timur (Paradisastra, 1981: 8 - 9).

Sejalan dengan perkembangan daerah kekuasaan negara Islam, perdagangan dan kegiatan ekonomi lainnya pun maju dengan pesat. Kapal-kapal dagang Islam dari bangsa Arab dan Turki telah biasa berniaga ke Afrika Utara, India, Malaka sampai Cina dan Eropa. Sehingga dikatakan bahwa pada abad IX tidak ada kapal bangsa asing lain yang ada di jalur yang menghubungkan Eropa dan Cina selain pedagang yang beragama Islam (Salim, 1962: 10). Pedagang-pedagang muslim inilah yang membawa barang dagangan dari daerah timur (Asia) ke barat (Eropa).

Disebutkan bahwa jalur pelayaran ke timur adalah sebagai berikut: Sesudah menyusuri pantai Semenanjung India sampai ke Quilon di Malabar, kemudian terus ke Ceylon. Dari sana terus ke ujung Sumatra (Aceh) dan dengan melalui Selat Malaka sampailah ke Palembang. Selanjutnya menyusuri pantai utara pulau Sumatra, kembali lagi dengan melalui jalur yang sama sampai di Kamboja. Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri pantai Cochin (Cina) sampai di pesisir negeri Cina. Setelah keadaan angin baik, mereka kembali ke negerinya dengan melalui rute yang sama (Salim, 1962 : 10 - 13).

Di samping berdagang, mereka pun aktif menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri yang mereka singgahi; sebab menurut ajaran Islam, menyebarkan agama merupakan kewajiban setiap pemeluknya sebagaimana juga menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Dengan cara demikian maka pada abad ke-7, sudah banyak penduduk negeri Cina yang beragama Islam (Bukhari, 1971: 10). Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Masjid Chee Lin Se dan Masjid Kwang Tah Se di Kanton pada masa Dinasti Tang (618 - 905 M) (Tien Ying Ma, 1979: 29).

Demikian pula dengan kepulauan Nusantara. Diper-kirakan, pada abad ke-7 dan ke-8 M (abad pertama Hijriah), pedagang-pedagang Muslim telah singgah di nusantara, sehingga agama Islam sudah banyak dikenal dan dianut oleh beberapa penduduk pribumi di nusantara (Tjandrasasmita, 1981: 362). Banyak sudah bukti sejarah yang diperoleh para ahli tentang masuknya ajaran agama Islam di nusantara ini (Ambary, 1981: 522). Bahkan pada tahun 840, umat Islam di Peureulak (Aceh) sudah dapat mendirikan satu negara bercorak Islam dengan Sayid Maulana sebagai raja pertamanya (Toynbee, 1981: 324). Demikian juga, sejak masa Sriwijaya, Kediri, Daha, Janggala dan Majapahit, sudah ada kelompok-kelompok umat Islam (perkampungan muslim), terutama di daerah pesisir (Ambary, 1981: 552).

Sejarah telah mencatat, bahwa hubungan nusantara, terutama Sumatra, dengan tanah Arab telah berlangsung lama sejak zaman sebelum Islam. Para pedagang Arab mencari rempah-rempah, yang waktu itu hanya dijumpai di Sumatra, yaitu berupa kemenyan (styrax sumatrana) dan kapur barus (dryobalanops aromatica) ─ sehingga dalam khazanah bahasa Arab pun dikenal kata "barus" sebagai nama kapur-barus. Dengan keadaan ini, tidaklah mengherankan, apabila kronik Cina Hsin Tang Shu (Sejarah Dinasti Tang) mencatat bahwa pada tahun 674 M. sudah ada pemukiman pedagang Arab dan Cina muslim di Sriwijaya; Palembang dan Kedah. Keadaan di atas, juga berkaitan dengan adanya aktifitas perdagangan dan pelayaran yang meningkat antara Dinasti Umayyah (660-749 M.), Dinasti T'ang (618-905 M.) dan Dinasti Sriwijaya (abad ke-7 s.d 14 M.) (Tjandrasasmita, 1975: 85-86).

Dengan melihat eratnya hubungan perdagangan antara Arab, Cina, India dan kepulauan Nusantara, dan, ditunjang dengan keaktifan penyebaran agama Islam oleh pedagang muslim ini kepada penduduk pribumi, maka Thomas W. Arnold (1979: 209) menyatakan bahwa agama Islam datang di Nusantara dibawa oleh para pedagang Arab yang muslim pada permulaan tahun Hijriah.

Di Pulau Jawa, bukti tentang adanya masyarakat Islam baru ditemui pada abad ke-11 M. Sebuah batu nisan bertuliskan huruf Arab Kufi ditemukan di Leran, dekat Gresik, Jawa Timur. Batu ini menerangkan tentang wafatnya seorang muslimah yang bernama Fathimah binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijriah, bertepatan dengan 2 Desember 1082 Masehi (Salam, 1977: 5). Bahkan dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh ditulis abad ke-12 M, sudah ditemukan beberapa istilah Arab. Hal ini menunjukkan bahwa istilah-istilah Arab itu sudah diserap menjadi bahasa negeri (Kurnia, 1980).

Banten, ─ yang berada di jalur pelayaran internasional ─ diperkirakan pada abad pertama Masehi sudah dikunjungi oleh bangsa lain: India, Cina dan Eropa. Dan bahkan pada abad ke-7 menjadi pelabuhan ramai yang dikunjungi oleh pedagang-pedagang internasional, ─ seiring dengan meningkatnya volume perdagangan antara barat dan timur ─ tidaklah terlepas dari keadaan di atas. Pedagang-pedagang dan, mungkin mubalig-mubalig dari Arab, Cina ataupun India dan Peureulak singgah di Banten dan mengajarkan agama Islam di sana. Walaupun belum diadakan penelitian lanjutan, besar kemungkinan, di Banten pun kegiatan penyebaran Islam ini sudah dimulai jauh sebelum abad ke-15.

Tentang keberadaan orang-orang Islam di Banten, Tome' Pires, menyebutkan bahwa di daerah Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan Cirebon, banyak dijumpai orang Islam. Ini berarti bahwa pada akhir abad ke-15 M. di wilayah kerajaan Sunda Hindu sudah ada masyarakat yang beragama Islam. Karena hubungan yang didorong oleh faktor ekonomi, maka mereka umumnya tinggal di kota pelabuhan, seperti juga di Kalapa dan Banten. Yang jelas, sewaktu Sunan Ampel Denta pertama datang ke Banten, sudah didapatinya banyak penduduk yang beragama Islam walaupun Bupatinya masih beragama Hindu. Bahkan di Banten sudah berdiri satu masjid di Pecinan, yang kemudian diperbaiki oleh Syarif Hidayatullah (Purwaka, 20).

Dalam Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa Syarif Hidayat beserta 98 orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, banyaklah yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah ini. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.

Karena tertarik akan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari pernikahan ini Syarif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberinya nama Ratu Winaon dan Hasanuddin (Djajadiningrat, 1983:161). Tidak lama kemu-dian, karena panggilan uwaknya, Cakrabuana, Syarif Hidayat berangkat ke Cirebon. Di sana ia diangkat menjadi Tumenggung yang memerintah daerah Cirebon, menggantikan uwaknya yang sudah tua. Sedangkan tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Hasanuddin.

Dengan ketekunan dan kesungguhan serta kelembutan hatinya, usaha Hasanuddin ini membuahkan hasil yang menakjubkan. Diceritakan bahwa di antara yang memeluk agama Islam adalah 800 orang pertapa/ resi dengan sebagian besar pengikutnya (Toynbee, 1981: 335). Sehingga di Banten telah terbentuk satu masyarakat Islam di antara penduduk pribumi yang masih memeluk ajaran nenek moyang.



Sumber : Catatan Masa Lalu Banten ( DR. Halwani Michrab, Drs. A. Mudjahid Chudari)